Menurut dia, ikan pelangi bisa menjadi ikan hias yang bernilai ekonomi tinggi. Pencinta ikan pelangi relatif banyak. Bahkan, ada organisasi di Eropa dan Australia yang berperan pada penelitian ikan pelangi. Harga ikan pelangi yang kulitnya berwarna-warni mencapai 20-30 euro per ekor, dengan ukuran 12 sentimeter.

Bertaruh Nyawa
Penelitian ikan pelangi yang ia tekuni terinspirasi tantangan dari profesornya di Perancis. Ketika mendapatkan beasiswa S-2 dari Pemerintah Perancis, Kadarusman diberi masukan untuk mengembangkan penelitian ikan endemik Papua.

Meskipun harus bertaruh nyawa, saat menjelajahi Danau Kurumoi di Bintuni Timur sempat tersesat di rawa dengan buaya yang berkeliaran di sekitar perahu, serta ancaman malaria, Kadarusman dan tim berhasil menjalaninya dengan selamat. Danau Kurumoi ternyata mengalami pendangkalan hebat, biotanya didominasi ikan nila. Di sini ikan pelangi ditemukan di selokan kecil pinggiran danau. Kemudian, Ekspedisi kedua dia lakukan pada 2008. Kali ini dia melihat ikan pelangi di Manokwari, Teluk Wondama, Nabire, Yapen, hingga Waropen. Pada 2009, ekspedisi dilanjutkan di Teluk Cenderawasih dan Raja Ampat Selatan. Pada 2010, ekspedisi dilakukan di Kaimana yang alamnya didominasi batuan karst besar atau lengguru. Di sini dia menemukan banyak ikan pelangi. Ekspedisi ini multidisiplin, melibatkan 10 negara dengan peneliti sekitar 50 orang.

Penuh perjuangan
Untuk mendapatkan beasiswa, dia pergi ke Manokwari dengan menumpang kapal selama sehari. Dengan reputasi sebagai peneliti internasional, dia bisa menghadirkan dosen serta peneliti ternama dari dalam dan luar negeri secara virtual di hadapan para taruna (sebutan mahasiswa). Kadarusman dan tim menginisiasi kuliah dalam jaringan (daring) internasional lewat program Virtual Guest Lecture Series. Kuliah daring berjalan dengan proyektor yang awalnya ditaruh di atas kardus.

Tekad Kadarusman yang kuat terbentuk karena masa kecilnya yang sulit sebagai anak petani miskin di Kecamatan Bontonompo Selatan, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ayahnya juga bekerja sebagai penjual ikan tembang (Atheriniformes), yang kemudian diketahuinya sebagai nenek moyang ikan pelangi.
Kadarusman meyakini, keanekaragaman hayati di Indonesia harus digali peneliti Indonesia. Oleh karena itu, dengan penuh semangat, dia mendukung mahasiswa S-1 sampai S-3 untuk mendapatkan beasiswa riset lewat kekuatan jaringan kerja sama yang dia miliki di tingkat internasional.

Biografi
♦ Lahir: Kampung Isoka, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, 23 September 1979
♦ Istri:  Murtihapsari
♦ Pendidikan:
- S-1 Budidaya Perairan, Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, 1993-2003
- S-2 Aquaculture, University of Montpellier, Perancis, 2006-2007
- S-2 Biodiversity, Ecology, and Evolution, University of Paul Sabatier, Perancis, 2007-2008
- S-3  Evolution, Ecology, and Conservation, University of Toulouse, Perancis, 2009-2012
♦ Penghargaan:
- Schutzenberger Award  dari  International Prize for Scientist, Afides Institute, Perancis, 2011
- Satyalencana Karya Satya X dari Presiden RI, 2014
- Dosen Berprestasi dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, 2014
♦ Pengalaman kerja, antara lain:
- Dosen Politeknik Kelautan dan Perikanan  Sorong, penanggung jawab instalasi pendidikan dan pengembangan budidaya ikan air tawar, 2003-kini
- Pemimpin proyek  Fishes and Palaemonids of Austro-New Guinea: Systematic, Evolution, Domestication, Aquaculture, and Conservation, 2013-kini
- Pemimpin proyek riset multinasional, 2010-kini
- Koordinator lima  ekspedisi internasional Sumber Daya Genetik Perairan Papua, 2007-2014
♦ Penemuan:
- 15 spesies baru ikan pelangi Papua, famili ”Melanotaeniidae”
- Satu spesies baru ikan buta dari pedalaman Papua
- 350 DNA barcode ikan pelangi Papua dan Australia
- 22 populasi sebagai kultivan baru untuk  budidaya perairan


Sumber : Harian Kompas
Penulis Artikel : Ester Lince Napitupulu
Oleh : Renanda Farah Diba Saqinah (1801444596)